Jumat, 11 April 2014



MENEMUKAN SEJARAH TOKOH PENTING ISLAM DI WAJO YANG NYARIS TERLUPAKAN
Pembahasan mengenai sejarah tak pernah ada habisnya, seperti ilmu yang begitu luas “Bagaikan Lautan Tak Bertepi”. Ada pepatah yang mengatakan “siapa yang tidak mau belajar dari sejarah, maka ia akan dimusnahkan oleh sejarah itu”. Artinya bahwa dalam sejarah itu terdapat banyak pelajaran baik, sehingga semua orang harus dapat belajar dari sejarah. Pada kesempatan ini, pembahasan sejarah dititikberatkan pada perkembangan Islam di Wajo.
Masuknya Islam di Wajo tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan selalu dikaitkan dengan datangnya tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika Islam secara resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini dijadikan dasar pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605 setelah kedatangan tiga orang ulama tersebut. Tetapi kalau titik pijaknya adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka jejak-jejak keislaman di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada tahun 1320 dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Syeikh Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini. Siapa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini?
Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini, adalah cucu turunan Nabi atau (ahl al-bait) yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan Wali Songo yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahamatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Jamaluddin al-Akbar al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora Kabupaten Wajo melalui pantai Bojo Nepo Kabupaten Barru. Kedatangan Jamaluddin al-Husaini di Tosora Wajo diperkirakan terjadi pada tahun 1320. Tahun ini kemudian dianggap sebagai awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan.[1]
Jamaluddin Akbar al-Husaini atau Maulana Husain Jumadil Kubro (1310-1453M) dikenal sebagai seorang muballigh terkemuka, dimana sebagian besar penyebaran islam nusantara (wali songo), berasal dari keturunannya. Beliau dilahirkan pada tahun 1310 M di negeri Malabar , yakni sebuah negeri dalam wilayah Kesultanan Delhi Ayahnya adalah seorang Gubernur (Amir) negeri malabar, yang bernama Amir Ahmad Syah Jalaluddin.
SILSILAH
Nasab lengkap beliau adalah Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Keluarga
Maulana Husin, memiliki banyak saudara di antaranya : Aludeen Abdullah, Amir Syah Jalalluddeen (Sultan Malabar), Alwee Khutub Khan, Hasanuddeen, Qodeer Binaksah, Ali Syihabudeen Umar Khan, Syeikh Mohamad Ariffin Syah (Datuk Kelumpang Al Jarimi Al Fatani) dan Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera)
Maulana Husain memiliki beberapa nama panggilan, diantaranya Sayyid Husain Jamaluddin, Syekh Maulana Al-Akbar atau Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat, beliau tercatat memiliki isteri 6 orang, yaitu 
1.   Lalla Fathimah binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi Al-Hasani (Morocco)
Memperoleh seorang anak, yang kemudian dikenal dengan nama Maulana Muhammad Al-Maghribi
2.   Puteri Nizam Al Mulk dari Delhi
Memperoleh 4 anak yaitu: Maulana Muhammad Jumadil Kubra, Maulana Muhammad ‘Ali Akbar, Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subaqir), Syaikh Maulana Wali Islam
3.   Puteri Linang Cahaya (menikah tahun 1350 M)
Memperoleh 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh Yusuf Shiddiq
4.   Puteri Ramawati (Puteri Jeumpa/Pasai) (Menikah tahun 1355 M)
Memperoleh seorang anak yang bernama Maulana Ibrahim Al Hadrami
5.   Puteri Syahirah dari Kelantan (Menikah tahun 1390 M)
Memperoleh 3 anak. yaitu ’Abdul Malik, ‘Ali Nurul ‘Alam dan Siti ‘Aisyah (Putri Ratna Kusuma
6.   Puteri Jauhar (Diraja Johor)
Memperoleh anak bernama Muhammad Berkat Nurul Alam dan Muhammad Kebungsuan.
Sejarah Dakwah
Pada tahun 1349 M besama adiknya Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) , tiba di Kelantan dalam menjalankan misi dakwahnya.
Dari Kelantan beliau menuju Samudra Pasai, dan beliau kemudian bergerak ke arah Tanah Jawa. Di Jawa beliau menyerahkan tugas dakwah ke anakanda tertuanya Maulana Malik Ibrahim. Beliau sendiri bergerak ke arah Sulawesi dan mengislamkan Raja Lamdu Salat pada tahun 1380 M
Pada awal abad ke-15, Maulana Husin mengantar puteranya Maulana Ibrahim Al Hadrami ke tanah Jawa
Pada akhirnya beliau memutuskan untuk bermukim di Sulawesi, hal ini dikarenakan, sebagian besar orang Bugis ketika itu belum masuk Islam. Pada tahun 1453 M, Maulana Husin di panggil menghadap ILLAHI, dan dimakamkan di Wajo Sulawesi.
Seperti dijelaskan oleh salah seorang ulama yang tergabung dalam Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel bahwa Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten Wajo melalui pantai Bojo Nepo kabupaten Barru
Kiyai Jamaluddin lalu mengutip keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia) bahwa dari isi daftar yang diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak dinyatakan bahwa raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam bernama La Maddusila dia adalah raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M. Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan siapa yang mengislamkan. Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah mustahil bila yang mengislamkan raja yang dimaksud adalah Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis dengan masa pemerintahan raja itu.
Keterangan serupa juga diberikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa sebelum para wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro telah lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah perdikan. Dengan kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pertanian, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini berhasil menolong banyak orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini (Abdurrahman Wahid, 1998: 161)
Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Pang Timaggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.
La Sangkuru Patau Mulajaji adalah salah seorang keturunan bangsawan yakni dari keturunan La Tadangpare menjadi raja di negeri Peneki (Arung Peneki ke-3), yang kemudian terpilih menjadi Arung Matowa ke-12 menggantikan Arung Matowa La Mangkace To Uddamang. Beliau memerintah sebagai Arung Matowa sekitar tiga tahun (1607 – 1610). Dalam menjalankan tugasnya sebagai pucuk pimpinan Pemerintahan, rakyat sangat simpatik kepadanya, karena beliau sangat jujur, berani, cakap, bijaksana dan memiliki ilmu yang tinggi. Ia amat teguh dalam pendiriannya dan mematuhi perjanjian yang sudah disepakati.
La Sangkuru Patau masih merupakan cicit La Tadangpare Puang ri Maggalatung (Arung Matowa Wajo ke-4) dengan permaisurinya bernama We Tenrigella (WE TENRI BAGERING) putri arung Cabalu (Bone). Dalam lontarak La Congeng, disebutkan bahwa dari perkawinannya itu lahirlah empat orang putra dan seorang putri. Kelima anaknya itu bernama: La Tenripakado To Nampe, La Tenrirekko To Tenrisau, La Maddaremmeng To Mallu, We Pabbatang Damalu dan La Marasempe.
Kisah perkawinannya dikatakan bahwa La Tenri Pakado To Nampe dikawinkan dengan Tenri Pabbisa, putri La Ipa Gajangmalela Ranreng Talotenreng. Dari hasil perkawinannya itu lahirlah We Tesi. Perkembangan hidup We Tesi makin mekar, sehat dan tegar menjadi seorang gadis ayu yang cantik. Tidak mengurangi tutur kata dan perangai kebangsawanannya, namun ia tidak pilih kasih terhadap  gadis sebayanya. Hingga La Paturusi To Sekketti Arung Peneki ke-2 menaksirnya sampai menghantar ia kepelaminan. Dari hasil perkawinannya itu lahirlah seorang bocah laki-laki dan diberi nama La Sangkuru Patau Mulajaji. Ibunya bernama We Pappolobongan putri dari La Obbi Settiware Arung Matowa Wajo ke-2, dan ayahnya bernama La Maddaremmeng To Mallu (Arung Peneki ke-1).
Sebagaimana telah dikisahkan dalam sejarah lontarak Wajo, bahwa agama Islam masuk ke Wajo melalui perlawanan senjata dari kerajaan Gowa. Gowa adalah daerah pertama di masuki Islam yang rajanya bernama MANGERANGI DAENG MANRA’BIA SULTAN ALAUDDIN. Penyerangan pasukan Gowa di lakukan sekitar satu bulan setelah kekalahan Soppeng. Gowa dibantu oleh kerajaan limaE Ajattappareng dan kerajaan Soppeng. Pertempuran tidak dapat dielakkan yang pada akhirnya banyak menimbulkan korban jiwa. Pertempuran berakhir dengan kekalahan kerajaan Wajo. Dengan demikian Arung Matowa Wajo La Sangkuru Patau Mulajaji bersama dengan rakyatnya menerima agama Islam serta mengucapkan dua kalimat syahadat, bertepatan 15 Syafar 1019 H (6 Mei 1610 M). La Sangkuru Patau Mulajaji juga digelar Sultan Abdurrahman.
Untuk memperdalam pengetahuan tentang agama Islam, Arung Matowa memohon guru pada raja Gowa. Sehingga dikirim Datok Sulaeman Khatib Sulung untuk mengajarkan Islam pada orang-orang Wajo. Muballig ini diterima baik oleh Arung Matowa La Sangkuru Patau Mulajaji.
Tidak lama setelah orang Wajo menerima agama Islam. Arung Matowa La Sangkuru Patau Mulajaji meninggal dunia dalam tahun 1610 M di Peneki dan gelarnya sesudah meninggal Petta Matinroe ri Allepparenna. Dan beliaulah Arung Matowa yang mula-mula dikuburkan jenazahnya. Sedangkan Arung Matowa sebelumnya dibakar dan abunya disimpan dalam balubu kemudian ditanam. Namun beliau tiada, akan tetapi ia telah banyak meninggalkan wasiat, nasehat dan kata sulsana kepada anak cucunya. Antara lain wasiatnya:
mkEdai lskuru ptau muljji mtiRoea ri alEpEn:
aj nslaiko topRit, towrni, pkddea, tosogi nmlbo eawai siamet. ap aiytu aptujun riaiko topRitea. aEK amn admu nw-nwmu psl ribicrn kitea naiynro paisEGEko rigau ptujuea. naiy ptujuna tau wrniea,aiy pkow riyjuelkaiwi, eptaun riewelyGi aulu ad, rimekekGergi ad ripdn ptiRo musu, iy mjElorE rieaw tEmsr topRitea ap aiyn prmtn wnuwea naiy tau sogiea jukuna wnuwea naiy towrniea bukun wnuwea. naiy ptujuna pkddea naiy erkow aEK ad rimealomu suroai, ripasiajiGn tnea iyn risuro mnE ad, eK aerg suro esajit aiyn aisuro bliwi. naiy ptujun tauu sogiea nmlbo, aEK amn mk muposiri naiy sPoGEko sirimu, sPoGEko loKomu.
Artinya: kata La Sangkuru Patau Mulajaji Matinroe ri Alleperenna.
Jangan engkau berpisah dengan alim ulama, pemberani, arif bijaksana (cendekiawan), orang kaya supaya dijadikan teman akrab, sebab manakala ada kata-katamu tersalah, tingkah lakumu tidak senonoh, pikiranmu yang keliru tidak sesuai dalam kitab, ialah yang memberi petunjuk yang benar. demikian pula orang berani yang merupakan perisai bahkan menjadi benteng negeri pada setiap waktu, dapat membendung bahaya yang akan mengancam. Itulah sebabnya maka dianjurkan supaya jangan berpisah para alim ulama, sebab merupakan bahaya kebahagiaan negeri, sedangkan orang kaya merupakan sumber kebesaran negeri, sedangkan orang berani adalah tulang punggung negeri. Begitu juga orang cendikiawan dapat membantu membawa berita resmi, menerima dan sekaligus dapat menjawabnya, baik dari kalangan keluarga maupun menyangkut situasi negeri.Demikian pula dengan orang kaya dapat membantu dalam kesulitan akibat utang dan sebagainya.
Beliau juga dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Rahman dan satu-satunya pemimpin wajo dalam sejarah yang memiliki gelar Sultan. selain itu, beliaulah yang menerima Islam (pemimpin raja wajo yang pertama memeluk Islam).
Seiring berkembangnya Islam di Wajo, berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka. Jadilah pada akhir tahun 1347 H/1928 M, seorang ulama besar bernama AG H. M. As’ad , dalam usia sekitar 21 tahun merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang. Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M. Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo. Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang.Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan.
Adalah AG. H. Daud Ismail yang disapa dengan H. Dauda  dan biasa juga dengan sebutan kali Soppeng, dilahirkan pada tanggal 30 Desember 1908 M. di Cenrana Kab. Soppeng. H. Dauda  mempunyai  sebelas  orang  saudara  dari pasangan H. Ismail bin Baco  Poso dan Hj. Pompala binti Latalibe yang berasal dari kampung  yang sama yaitu Cenrana. Ayahnya adalah seorang petani, guru mangaji (membaca Al-Qur’an) sekaligus seorang katte dan parewa syāra di Distrik Soppeng. Sebagai tokoh masyarakat, H. Ismail merasa bertangungjawab terhadap pendidikan Agama anak-anak, sehingga dia membuka pengajian Al-Qur’an di rumahnya.
Dalam sejarah hidupnya, A.G.H. Daud Ismail menikah tiga kali, pertama dengan Hajjah Marellung pada  tahun 1932 M dan memperoleh dua orang putra yaitu Haji Ahmad Daud tapi sayang anak pertamanya ini menjelang 50 tahun berpulang kerahmatullah, tapi semasa hidupnya Ahmad Daud sempat menjadi dosen IKIP Ujung Pandang, kini Universitas Negeri Makassar. Dan A.G.H Daud Ismail menyerahkan pimpinan Pondok Pesantren YASRIB kepada anak keduanya yang bernama Kyai Haji M. Basri Daud, Lc. Tapi sayang H.Basri ternyata mendahului ayahnya menghadap Khalik. Setelah istri pertama meninggal dunia, A.G.H. Daud Ismail kawin lagi dengan Hajjah  Salehah, namun dari perkawinan ini, tidak dikaruniai seorang anak. Pada tahun 1942 A.G.H. Daud Ismail, menikah yang ketiga kalinya dengan Hajjah  Faridah, dan isterinya  inilah  yang  mendampingi  beliau  hingga  akhir hayatnya dan dikaruniai  tiga orang  anak yaitu  Hajjah Syamsul Huda (almh) dan Hajjah Nur Inayah menjadi Pengadilan Agama di Watangsoppeng dan anak terakhirnya bernama Drs. H. M Rusydi Daud menjadi staf Pegawai BNI di Jakarta.
A.G.H. Daud  Ismail  belajar  Al-Qur’an  pada orang tuanya, yaitu H. Ismail (yang biasa dipanggil dengan katte Maila) di bawah  rumahnya sendiri, dan pada seorang perempuan yang bernama Maryam. Pada saat itu memang tampak ketekunan dan kecerdasan A.G.H. Daud Ismail serta perhatiannya kepada ilmu pengetahuan.
Perhatian A.G.H. Daud Ismail kepada ilmu pengetahuan didorong oleh orang tuanya sendiri. Daud Ismail tidak bisa bekerja keras di sawah, karena fisiknya lemah sehingga tidak mampu mengerjakan sebagaimana yang dikerjakan petani pada saat itu. Menurut Abd. Rauf bahwa A.G.H. Daud Ismail apabila diperintahkan untuk mengambil bibit padi (bien), beliau tidak mampu memikulnya, setiap kali dia memikul bibit padi pasti terjatuh, sehingga orang tuanya menyuruh untuk  meninggalkan pekerjaan itu, lebih baik kamu pergi belajar mengaji. dari pada bekerja di sawah.
A.G.H. Daud Ismail mempelajari masalah agama kepada  beberapa ulama dan guru,  di   antaranya sebagai berikut:
a.    Haji Muhammad Shaleh, Imam Lompo di Cangadi Kecamatan Liliriaja Kab. Soppeng.
b.   H. Ismail (Qāḍi Soppeng).
c.    Guru Tengnga di Ganra.
d.   Haji Syamsuddin, Imam Sengkang.
e.    Haji Daeng Sumange di Kampung Ceppie  Soppeng Riaja.
f.    Haji Kitta, Qāḍi Soppeng Riaja.
g.   A.G.H. Muh. As’ad  di Sengkang.

Setelah mendengar bahwa di kota Sengkang ada seorang ulama Bugis yang bernama  H. Sade kembali dari tanah Mekkah melaksanakan kegiatan pengajian ḥalaqah serta mendirikan madrasah yang bernama MAI  (Madrasah ʻArabiyah al-Islāmiyah), A.G.H. Daud Ismail pergi ke Sengkang untuk menuntut ilmu pengetahuan walaupun pada awalnya hanya untuk berdiskusi, tetapi setelah memperhatikan keilmuan yang dimiliki  oleh A.G.H. Muh. As’ad, maka dia tinggal di Sengkang untuk menuntut ilmu pengetahuan.
A.G.H. Daud Ismail belajar langsung kepada A.G.H. Muh. As’ad selama 12 tahun yaitu dari tahun 1929-1942. Selama belajar, beliau merasakan banyak sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci  ilmu-ilmu agama, seperti ilmu qawāid, Ilmu uṣūl fiqh, ilmu mantiq dan lain-lainnya. Hal itu dirasakan, karena keilmuan yang dimiliki oleh gurunya (A.G.H. Muh. As’ad)  sangat luas dan mendalam, serta metode mengajar yang diterapkannya lebih bagus dibanding dengan metode yang pernah didapatkan sebelumnya. Menurut pengakuan A.G.H. Daud Ismail, bahwa  santri-santri  cepat  menguasai apa yang diajarkan oleh A.G.H. Muh. As’ad.
Di samping belajar, A.G.H. Daud Ismail juga dipercaya untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, karena beliau termasuk santri yang sangat lama belajar kepada A.G.H. Muh. As’ad, bahkan dapat dikatakan bahwa dia mewarisi seluruh ilmu yang dimiliki oleh A.G.H. Muh. As’ad. Menurut H. M. Rafii Yunus Martan, Pengangkatan A.G.H. Daud Ismail sebagai guru, itu karena sebelum berangkat ke Sengkang sudah pernah belajar pada beberapa guru dan ulama, hal itu berarti bahwa beliau sudah mempunyai banyak ilmu, kemudian pergi ke Sengkang untuk belajar.
Sejak saat itulah, orang-orang memanggil A.G.H. Daud Ismail sebagai Gurutta (suatu panggilan  kehormatan kepada guru yang sudah diakui ilmunya) dan diangkat sebagai pembantu utama dalam proses pengajaran kepada para santri yang datang belajar di MAI (Madrasah Arabiyah Islamiyah) di Sengkang.
Sejak meninggal A.G.H. Muh. As’ad pada tahun 1952 M. pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh MAI (Madrasah  ʻArabiyah  Islāmiyah) meminta kepada A.G.H. Daud Ismail datang ke Sengkang untuk melanjutkan pembinaan madrasah tersebut, meskipun dengan resiko harus meninggalkan pegawai negerinya. Hal tersebut diungkap oleh M. Rafii Yunus Martan, bahwa kembalinya A.G.H. Daud Ismail ke Sengkang, karena suatu amanah yang harus dilaksanakan baik dari gurunya maupun dari pemuka masyarakat Wajo, sehingga harus meninggalkan pegawai negerinya di Kab. Bone. Di samping itu karena keikhlasan dan panggilan hati nurani, sehingga beliau bersedia melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan oleh gurunya.
Sejak  tahun 1953 sampai 1961 A.G.H. Daud Ismail bersama dengan A.G.H. Muhammad Yunus Martan memimpin madrasah yang ditinggalkan oleh A.G.H. Muh. As’ad.  Pada  kepemimpinan beliau, madrasah tersebut dirubah menjadi Madrasah As’adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada pendiri madrasah yang dipimpinnya. A.G.H. Daud Ismail  memimpin Pondok Pesantren As’adiyah selama 8 tahun.
Pada tahun 1961, A.G.H. Daud Ismail meninggalkan Sengkang dan kembali ke daerah kelahirannya yaitu Watansoppeng. Ketika tiba di Watansoppeng, A.G.H. Daud Ismail melakukan berbagai aktivitas, baik dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang dakwah.
Di bidang pendidikan beliau membuka Madrasah Muallimin di bawah naungan Yayasan Perguruan Islam Beowe (Yasrib), dan sekaligus sebagai Ketua Yayasan, serta  memprakarsai pembentukan Darul Dakwah wal Irsyad (DDI).  Pada tahun 1993-2006 menjadi pimpinan Pondok Pesantren Yasrib Watansoppeng, yang sebelumnya dipimpin oleh putranya yaitu K.H. Basri Daud Lc yang lebih dahulu meninggal dunia.
Sedang di bidang dakwah, beliau memberikan pengajian kepada masyarakat di beberapa mesjid utamanya di masjid yang ada di samping rumahnya, serta memberikan ceramah di berbagai tempat, baik pada waktu maulid maupun pada waktu isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. serta menjadi khatib jum’at. Penyampaian dakwah dilakukan tanpa berusaha menyinggung perasaan orang lain, sehingga  dakwahnya dapat diterima oleh lapisan masyarakat.
Metode dakwah yang dilakukan oleh A.G.H. Daud Ismail diungkapkan:
“A.G.H. Daud Ismail dai dan muballig yang sangat akomodatif, toleran, dan komunikatif. Dakwah-dakwahnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi pendengarnya dan senantiasa menyejukkan hati, membujuk dan mengajak. Sifat tegasnya terhadap suatu masalah senantiasa diungkapkan dengan ungkapan sesuai prinsip bi al-ḥikmat wa al-mauʻiẓat al-ḥasanah”.
A.G.H. Daud Ismail  menghadap  kekhadirat Allah swt. pada hari Senin 22 Agustus 2006, sekitar pukul 22.00 wita, di Rumah Sakit Hikmah Makassar, dalam usia 99 tahun, dan dikebumikan di Pondok Pesantren Yasrib Watansoppeng, di samping  anaknya  K. H. Basri Daud Lc.
Menelisik  spirit intelektual A.G.H. Daud Ismail memang mencintai ilmu  pengetahuan, terbukti beliau pindah dari satu daerah ke daerah lain dan dari satu guru ke guru lain,  dan akhirnya menuju Sengkang sebagai pelabuhan terakhir untuk belajar ilmu pengetahuan agama pada A.G.H. Muh. As’ad, karena ketidakpuasan  dengan ilmu yang diperoleh pada waktu itu.
Keilmuan A.G.H. Daud Ismail diakui sendiri oleh A.G.H. Muh. As’ad sebagaimana diungkapkan oleh A.G. Amin Ganra.
Kennai nasenngé gurutta Hajji Sāde makkedaé iyaro gurummu Dāuda makalallaéng ladde nasaba biasa natambai paddissengenngé, narekko ritanaiwi dē nacéddimi pappebalinna wedding mato mappakkué wedding mato mappakkué.
  Artinya:
Sesuai dengan ucapan A.G.H. Sade, bahwa gurumu Dauda memang berbeda dengan yang lain, karena sering menambah ilmu kita. Apabila ditanya satu persoalan, maka jawabannya bukan hanya satu, tetapi dia mengatakan bisa juga begini dan begini.
Hal tersebut juga diungkap oleh Arifuddin Jailani bahwa, A.G.H. Daud Ismail  pernah bercerita:
Engka nengka Gurutta Sāde makkutāna naiyaro pakkutanaé mawātang ladde, nanakapanngi Gurutta Sade dēnagāga missenngi, naiyakiya Gurutta Dauda bāwang missenngi.
Artinya:
Suatu ketika Gurutta Sade bertanya, pertanyaan itu susah sekali, dan menganggap bahwa tidak ada santrinya yang bisa mengetahuinya, tetapi Gurutta Dauda  saja yang mengetahui jawabannya.
Zainuddin mengemukakan bahwa Gurutta Daud adalah orang yang selalu membaca buku, bahkan tidak ada hari beliau tanpa diisi dengan membaca kitab, dan apabila dia membaca kitab, Gurutta Daud berpakaian rapi (mabbaju kūrung) dengan penuh khusyu baik pada waktu pagi siang bahkan pada waktu malam. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa A.G.H. Daud Ismail sangat mencintai ilmu pengetahuan, tidak kenal waktu, bukan hanya pada waktu mudanya tetapi dilakukan sampai beliau sudah tua.
Keilmuan yang dimiliki oleh A.G.H. Daud Ismail dimanfaatkan dengan memberikan pengajian pada masyarakat, baik sesudah salat magrib maupun  salat subuh di Mesjid Raya Soppeng (Sekarang mesjid jami), dan  dilakukan bertahun-tahun.  Hal tersebut di atas diakui oleh Arifuddin Jailani:
Iyaro Gurutta Dauda dē naengka napāja mappangāji mangaribitōgi subutōgi ri masigi engkaé ri seddé bolāna, nenniya napégaui mattautaungeng.
Artinya:
A.G.H. Daud Ismail tidak pernah berhenti memberi pengajian baik pada waktu magrib maupun pada waktu subuh di Mesjid yang ada di samping rumahnya. Itu dilaksanakan bertahun-tahun.
A.G.H. Daud Ismail tidak kenal lelah menyebarkan ilmu pengetahuan walaupun dalam keadaan sakit. Hal tersebut dibuktikan ketika Mahasantri Maʻhad Āli ditempatkan di Pondok Pesantren Yasrib selama 4 tahun, A.G.H. Daud Ismail  lebih banyak mengajar sambil berbaring dibanding dengan duduk apalagi berdiri.  Mahasantri Maʻhad al-Dirāsat al-Islāmiyah al-ʻUlyā hanya belajar di dekat tempat tidurnya, karena kesehatannya tidak memungkinkan untuk duduk apalagi berdiri, tetapi beliau sangat bersemangat untuk memberikan ilmunya.
A.G.H. Daud Ismail, adalah sosok ulama yang tidak ketinggalan informasi, karena gurutta selalu mengikuti perkembangan berita, baik nasional maupun tingkat internasional, hal tersebut diungkap oleh Arifuddin.
Kecintaan A.G.H. Daud Ismail terhadap ilmu pengetahuan terbukti dengan munculnya satu tafsir, tidak pernah muncul sebelumnya di daerah Bugis yaitu tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz.
Sebagai seorang ulama yang disegani, A.G.H. Daud Ismail mengabdikan diri selama hidupnya untuk kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan agama, sehingga waktunya diisi dengan berbagai macam aktifitas, baik pada waktu tinggal di kota Sengkang maupun ketika kembali ke kampung halamannya, yaitu Watansoppeng.
· Adapun aktifitas beliau adalah:
1.   Tahun 1942  mengajar pada Madrasah Arabiyah Islāmiyah di Sengkang.
2.   Tahun 1943 diangkat menjadi Imam Lompo di Masjid Raya Lalabata Soppeng.
3.   Tahun 1944 diangkat sebagai guru privat di keluarga Datu Pattojo yaitu Andi Sumange Rukka untuk mengajarkan Pengetahuan Agama Islam di keluarga bangsawan.
4.   Tahun 1945 diangkat menjadi qāḍi (penghulu syara) wilayah Swapraja Soppeng.
5.   Tanggal 16 Mei 1951 diangkat sebagai penghulu syarat  di Kabupaten Bone, dengan status pegawai negeri pada Kantor Urusan Agama Kabupaten Bone.
6.   Tahun 1953-1961 diangkat menjadi Pimpinan MAI Wajo yang berubah menjadi Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang.
7.   Tahun 1957-1960 Penasehat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi.
8.   Tahun 1961 membuka Madrasah Muallimin di bawah naungan Yayasan Islam Beowe di Seoppeng, sekaligus sebagai Ketua Yayasan.
9.   Tahun 1966-2006 sebagai qāḍi kedua kalinya sampai berpulang ke Rahmatullah.
10.        Tahun 1993-2005 sebagai Pimpinan  Pondok Pesantren Yasrib Watansoppeng, setelah sebelumnya dipimpin oleh puteranya yaitu K.H. Basri Daud Lc. yang terlebih dahulu meninggal dunia.
·       Adapun karya A.G.H. Daud Ismail adalah:
a.      Pengetahuan Dasar Agama Islam, sebanyak 3 jilid.
b.     Al-Ta’rīf bi al-Ālim al-ʻAllāmah al-Syaikh al Ḥāj Muḥammad Asʻad al-Būgīsi.
c.      Kumpulan doa dalam kehidupan sehari-hari.
d.     Kumpulan khutbah Jum’at (Bahasa Bugis).
e.      Kumpulan doa sehari-hari.
Sebagai  seorang ulama yang sangat peduli terhadap kehidupan umat Islam, utamanya menyangkut masalah kehidupan keagamaan.  A.G.H. Daud Ismail tentu banyak mengeluarkan fatwa yang bisa dijadikan pedoman  oleh masyarakat apalagi kalau ada masyarakat yang datang ke rumahnya untuk menanyakan masalah keagamaan, namun ada tiga fatwa yang dianggap sangat penting, sehingga mengundang beberapa pihak untuk mendengarkan  fatwa tersebut. Fatwa tersebut dikenal dengan 3 pesan moral yang harus diketahui masyarakat Islam. Fatwa  tersebut adalah:
a.    Dasar Bilangan Rakaat Ṣalat Tarwih
Dasar bilangan salat  tarwih yang dijadikan sebagai rujukan oleh sebagian ulama, adalah hadis ʻAisyah yang artinya.
Rasulullah saw. tidak menambah (rakāat) baik dalam bulan Ramaḍan maupun bukan bulan Ramaḍan lebih sebelas rakaat.
Menurut A.G.H. Daud Ismail, hadis di atas bukanlah dasar bilangan rakaat dalam shalat tarwiḥ, tetapi merupakan dasar bilangan ṣalat lail (tahajjud), karena di dalamnya terkandung ungkapan bukan hanya pada bulan Ramaḍan tetapi diluar bulan Ramaḍan, sementara ṣalat tarwih hanya dikerjakan pada bulan Ramaḍan.
Dasar bilangan salat tarwiḥ berlandaskan hadis Bukhāri dan Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. pada sebagian malam yaitu malam 23, 25, dan 26 melaksanakan salat malam 8 rakāat, dan banyak sahabat yang mengikutinya, lalu Nabi Muhammad saw. kembali ke rumahnya dan menyempurnakan  menjadi 20 rakaat.
b.   Bacaan Basmalah Pada Pertengahan Ṣūrah
            Pada setiap pelaksanaan Musābaqah Tilāwah Al-Qur’ān, setiap qāri dan qāriah membaca Al-Qur’an, diawali dengan taʻāwuż dilanjutkan dengan bacaan basmalah, sementara ayat yang dibaca terdapat pada pertengahan sūrah, bukan awal sūrah. Menurut A.G.H. Daud Ismail bacaan basmalah pada pertengahan sūrah tidak tepat, karena bukan pada permulaan sūrah. Bacaan yang tepat apabila membaca basmalah  pada awal sūrah bukan pada pertengahan sūrah.
c.    Tidak Pakai Dasi ketika Membaca Al-Qur’an
Menurut pendapat A.G.H. Daud Ismail, bahwa pakaian dasi pada qāri dan qāriah ketika tampil membaca Al-Qur’an tidak layak, karena pakaian dasi adalah pakaian resmi  bagi kaum Yahudi dan Nasrani pada upacara-upacara resmi, sedangkan aktivitas membaca Al-Qur’an adalah termasuk Ibadah maḥdah bagi umat Islam.  Oleh karena itu, dalam setiap membaca Al-Qur’an sebaiknya tidak mencerminkan pakaian non muslim.

Perlu kita pahami bahwa banyak dari sejarah As’adiyah yang menjadi tanda tanya bagi banyak orang, seperti misalnya kurangnya informasi, literatur dan media yang dapat membuat kita tertarik untuk membahas sejarah. Seperti tokoh gurutta’ yang satu ini, yakni KH. Abdul Rasyid Amin. Menurut sumber yang kami dapatkan, bahwasanya KH. Abdul Rasyid Amin lahir di Lerangga, Pinrang Sawitto pada tahun 1907. Istrinya bernama Hj. Musarraafa dan memiliki dua anak, anak yang pertama sulfa dan anak yang kedua Nasruddin. Ibunya bernama Hj. Jara. Nama Amin yang melekat pada nama beliau merupakan nama neneknya.
Anre Gurutta sekolah SD (MI) di Salemo, akan tetapi belum tamat di Salemo, beliau dipindahkan ke Sengkang Ibtidaiyah, karena adanya salah seorang dari gurunya yang mengajar di SD Salemo memberitahukan kepada kedua orang tuanya bahwa beliau selalu bertanya kepada gurunya di Sekolah dan mungkin gurunya tidak bisa lagi memberikan jawaban sehingga harus pindah di Sengkang, kemudian beliau melanjutkan studinya di MTs.
Anre Gurutta bersama dengan sahabatnya H. Muing, H. Katu, H. Hamsah Badawi dan H. Hamsah Manguluang pernah belajar kepada gurutta KH. Muh. As’ad, KH. Yunus Maratang, dan gurutta KH. Daud Ismail. Selama beliau belajar, selalu dekat dengan guru-gurutta sehingga de namabela pole barakka’na anre gurutta’. Beliau selalu mendapat nilai tinggi dan rata-rata nilainya 30 dan nilai standar pada saat itu adalah 30, dan nilai-nilai gurutta selalu mencapai nilai standar yang ditentukan.
Beliau pernah ke Kairo untuk bekerja di pabrik mentega, pada saat itu waktu libur sehingga beliau memanfaatkan waktu liburnya untuk bekerja dan hasil dari jerih payahnya beliau tabung untuk membeli kitab. Pergaulan AG. KH. Abdul Rasyid Amin tidak memandang sesiapa, dan tidak membeda-bedakan. Beliau tidak memilih-milih dalam menentukan kaya tidaknya sahabatnya.
Anre Gurutta KH. Abdul Rasyid Amin pernah menjadi kepala sekola di MTs. Pada tahun 1964, dan mengajarkan balagah, mantiq, ilmu arudi dll. Ada juga gurutta yang mengatakan bahwa KH. Abdul Rasyid Amin dalam mata pelajaran degaga nasampeang. AG. KH. Abdul Rasyid Amin pernah ke Mekkah dan di tengah perjalanannya tiba-tiba ada seseorang yang memberikan sesuatu (seperti domino) dan isinya berupa paddoangeng, Anre Gurutta tidak mengetahui siapa yang memberikan sesuatu tersebut.
AG. KH. Abdul Rasyid Amin wafat pada tahun 1969.
Selain itu, adalah Gurutta KH. Abdullah Maratang, Lc. juga memiliki peran penting dalam pembangunan Islam di Kabupaten Wajo, khususnya di lingkup As’adiyah. Akan tetapi, sangat disayangkan dari beberapa sumber yang ditemui kurang banyak hal yang diketahui dari beliau, terbukti dari sedikitnya referensi dan penuturan yang menerangkan tentang biografi beliau. Berikut adalah riwayat hidup singkat Gurutta’ KH. Abdullah Maratang, LC.
Gurutta KH. Abdullah Maratang, LC  yang biasa disebut Gurutta H. Dollah adalah seorang Putra Bugis Belawa
Ayahnya adalah H. Maratang dan Ibunya bernama Hj. Jamilah, pada saat beliau kelas 1 dan 2 ibtidaiyah beliau belajar dengan orang tuanya, dan ketika kelas 3 Ibtidaiyah beliau berangkat ke Mekah menghafal Al-Qur'an 30 juz sampai sekolahnya selesai. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya (kuliah) di Madinah dan menyelesaikan perkuliahannya pada tahun 1970.
Setelah beliau menyelesaikan pendidikannya di Madinah, beliau kembali ke kampung halamannya dan memulai pengabdiannya di As'adiyah.
Di as'adiyah beliau merangkap sekaligus sebagai Syaikhu Ma'had pada Tahun 1970 -1986, dan menjadi Dekan Ushuluddin, begitu juga beliau pernah menjadi Kepala Madrsah Aliyah As'adiyah Putra, serta pernah menjadi Ketua MDI WAJO.
Selain itu beliau adalah ahli hadits, pada Tahun 1973 beliau menikah dengan sekampungnya sendiri yang bernama Hj. Munibah, dan beliau dikaruniai 4 anak.
v Anak pertama bernama Hadijah
v Anak kedua bernama Ilham
v Anak ketiga bernama Haderawi
v Anak keempat bernama Hj. Mawaddah
Beliau Wafat pada Tahun 1986 di Sengkang Dekat Mesjid Jami’ dan dikebumikan di perkuburan Bulu Bellang Sengkang Kabupaten Wajo.
Pondok pesantren yang semula didirikan oleh AG. H. Muh. As’ad, setelah kepergian beliau digantikan dan dipimpin oleh murid senior beliau, yakni AG H. M. Yunus Martan. Setelahnya digantikan oleh AG. KH. Abdul Malik Muhammad. Beliau (AG. KH. Abdul Malik Muhammad) lahir di timoreng  belawa tahun 1922, ayahnya bernama H. Muhammad bin Husaeni dan ibunya bernama Hj. Buhana.  A.G. KH. Abdul Malik Muhammad  merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara setelah kakak beliau Hj. Su’ma dan Hj. Lenna.
A.G. KH. Abdul Malik Muhammad  mengecap pendidikan di sekolah muhammadiyah belawa, dilanjutkan di al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) yang didirikan oleh AG. H. Muh. As’ad di Sengkang, Kabupaten Wajo. MAI wajo yang saat sekarang ini dikenal dengan Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang. Selanjutnya, AG. KH. Abdul Malik Muhammad juga pernah mengecap pendidikan di madrasah darul falah makka al-mukarramah. Madrasah ini didirikan oleh seorang berkebangsaan India di Makkah Al-Mukarramah yang notabene lebih banyak memperlajari ilmu umum.
            A.G. KH. Abdul Malik Muhammad  mempunyai 2 istri yaitu  istri pertamanya bernama Hj. Subaedah Martan dikaruniai 5 orang anak yaitu alm. H. Abdul Muis, Drs. H. Husain, Hj. Maryam, Drs. Syarafuddin dan Drs. H. Muhammad Zuhdi. Istri kedaunya bernama hj suarsih pasinringi dan dikaruniai 6 anak yaitu HJ. Miswar, HJ. Nurhayati Malik, Drs. Alauddin, HJ. Nur Amal, H. Anwar Sadat, HJ. Aridha Malik dan Afiyah.
A.G. KH. Abdul Malik Muhammad  memiliki karya yakni buku panduan pakkamisi’ wanita as’adiyah.
AG. KH. Abdul Malik Muhammad merupakan mantan Ketua Umum PB As’adiyah sebelum masa transisi Prof. Rahman Musa yang sekaligus juga menjabat sebagai Ketua STAI As’adiyah Sengkang.[2]
Menurut beberapa penuturan dari masyarakat sekitar tempat pemakaman AG. KH. Abdul Malik Muhammad, beliau ini memiliki beberapa karomah, diantaranya yaitu :
1)     Gurutta mampu mengobati penyakit mistik (guna-guna, red)
2)     Mampu mengobati orang yang kesurupan meskipun hanya dengan lewat saja/
3)     Sebagian masyarakat ada yang pernah melihat kuburan Gurutta’ bercahaya.
Setelah jabatan Ketua STAI As’adiyah yang dipegang oleh AG. KH. Abdul Malik Muhammad berakhir. Maka Ketua STAI As’adiyah dilanjutkan oleh Prof. H. Abdul Rahman Musa. Beliau (Prof. H. Abdul Rahman Musa) pernah mengecap pendidikan di IAIN Jogja. Beliau juga pernah menjadi dosen di STAI As’adiyah dan merupakan wakil ketua dan ketua STAI tahun 2000-2003 sekaligus Pengurus Besar As’adiyah. Prof. H. Abdul Rahman musa adalah orang yang dikenal bijaksana dan arif.


Sekian
Wallahu ‘alam bisshowab.


[1] KH. S.Jamaluddin Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel. ( salah seorang ulama yang tergabung dalam Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di Sulawesi Selatan,.)
[2]Gurutta’ H. Anwar Sadat