MENEMUKAN SEJARAH TOKOH PENTING ISLAM DI WAJO YANG
NYARIS TERLUPAKAN
Pembahasan mengenai sejarah tak pernah ada habisnya, seperti ilmu yang
begitu luas “Bagaikan Lautan Tak
Bertepi”. Ada pepatah yang mengatakan “siapa yang tidak mau belajar dari
sejarah, maka ia akan dimusnahkan oleh sejarah itu”. Artinya bahwa dalam
sejarah itu terdapat banyak pelajaran baik, sehingga semua orang harus dapat
belajar dari sejarah. Pada kesempatan ini, pembahasan sejarah dititikberatkan
pada perkembangan Islam di Wajo.
Masuknya
Islam di Wajo tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Sejarah
masuknya Islam di Sulawesi
Selatan selalu dikaitkan dengan datangnya
tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri
Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika Islam secara
resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini dijadikan dasar
pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605 setelah
kedatangan tiga orang ulama tersebut. Tetapi kalau titik pijaknya adalah
kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka jejak-jejak keislaman
di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada tahun 1320 dengan
kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Syeikh Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini.
Siapa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini?
Sayyid
Jamaluddin al-Akbar al-Husaini, adalah cucu turunan Nabi atau (ahl al-bait)
yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek kandung
dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan Wali Songo
yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid
Raden Rahamatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Jamaluddin al-Akbar al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja
Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta
rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi
Selatan, tepatnya di Tosora Kabupaten Wajo melalui pantai Bojo Nepo Kabupaten
Barru. Kedatangan Jamaluddin al-Husaini di Tosora Wajo diperkirakan terjadi
pada tahun 1320. Tahun ini kemudian dianggap sebagai awal kedatangan Islam di
Sulawesi Selatan.[1]
Jamaluddin
Akbar al-Husaini atau Maulana Husain Jumadil Kubro (1310-1453M) dikenal sebagai
seorang muballigh terkemuka, dimana sebagian besar penyebaran islam nusantara
(wali songo), berasal dari keturunannya.
Beliau dilahirkan pada tahun 1310 M di negeri Malabar , yakni sebuah negeri
dalam wilayah Kesultanan Delhi Ayahnya adalah seorang Gubernur (Amir) negeri malabar, yang bernama Amir Ahmad Syah Jalaluddin.
SILSILAH
Nasab
lengkap beliau adalah Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin
Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib
Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula
Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali
Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali
Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah.
Keluarga
Maulana
Husin, memiliki banyak saudara di antaranya : Aludeen Abdullah, Amir Syah
Jalalluddeen (Sultan Malabar), Alwee Khutub Khan, Hasanuddeen, Qodeer Binaksah,
Ali Syihabudeen Umar Khan, Syeikh Mohamad Ariffin Syah (Datuk Kelumpang Al
Jarimi Al Fatani) dan Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera)
Maulana
Husain memiliki beberapa nama panggilan, diantaranya Sayyid Husain Jamaluddin,
Syekh Maulana Al-Akbar atau Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat, beliau tercatat
memiliki isteri 6 orang, yaitu
1.
Lalla Fathimah binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi
Al-Hasani (Morocco)
Memperoleh
seorang anak, yang kemudian dikenal dengan nama Maulana Muhammad Al-Maghribi
2.
Puteri Nizam Al Mulk dari Delhi
Memperoleh 4 anak yaitu: Maulana
Muhammad Jumadil Kubra, Maulana Muhammad ‘Ali Akbar, Maulana Muhammad Al-Baqir
(Syekh Subaqir), Syaikh Maulana Wali Islam
3.
Puteri Linang Cahaya (menikah tahun 1350 M)
Memperoleh 3 anak, yaitu: Pangeran
Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa
Agung), Syekh Yusuf Shiddiq
4.
Puteri Ramawati (Puteri Jeumpa/Pasai) (Menikah tahun 1355 M)
Memperoleh seorang anak yang bernama
Maulana Ibrahim Al Hadrami
5.
Puteri Syahirah dari Kelantan (Menikah tahun 1390 M)
Memperoleh 3 anak. yaitu ’Abdul
Malik, ‘Ali Nurul ‘Alam dan Siti ‘Aisyah (Putri Ratna Kusuma
6.
Puteri Jauhar (Diraja Johor)
Memperoleh anak bernama Muhammad
Berkat Nurul Alam dan Muhammad Kebungsuan.
Sejarah Dakwah
Pada tahun 1349 M besama adiknya
Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) , tiba di Kelantan dalam menjalankan misi dakwahnya.
Dari Kelantan beliau menuju Samudra Pasai, dan beliau kemudian bergerak ke arah Tanah Jawa. Di Jawa beliau menyerahkan tugas dakwah ke anakanda
tertuanya Maulana Malik Ibrahim. Beliau sendiri bergerak ke arah Sulawesi dan mengislamkan Raja Lamdu Salat
pada tahun 1380 M
Pada awal abad ke-15, Maulana Husin
mengantar puteranya Maulana Ibrahim Al Hadrami ke tanah Jawa
Pada akhirnya beliau memutuskan
untuk bermukim di Sulawesi, hal ini dikarenakan, sebagian besar orang Bugis ketika itu belum masuk Islam. Pada tahun 1453 M, Maulana
Husin di panggil menghadap ILLAHI, dan dimakamkan di Wajo Sulawesi.
Seperti
dijelaskan oleh salah seorang ulama yang tergabung dalam Rabithatul Ulama (RU),
cikal bakal NU di Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin Assagaf dalam bukunya,
Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel bahwa Jamaluddin Al-Akbar
Al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah
menghadap Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian
melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten
Wajo melalui pantai Bojo Nepo kabupaten Barru
Kiyai
Jamaluddin lalu mengutip keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis
Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fattany, mufti
kerajaan Fathani (Malaysia) bahwa dari isi
daftar yang diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak
dinyatakan bahwa raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam bernama La
Maddusila dia adalah raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M.
Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan siapa yang
mengislamkan. Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah mustahil bila
yang mengislamkan raja yang dimaksud adalah Syeikh Jamaluddin Al-Akbar
Al-Husaini. Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis dengan
masa pemerintahan raja itu.
Keterangan
serupa juga diberikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa sebelum para
wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Syeikh
Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro
telah lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah
perdikan. Dengan kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan
pertanian, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini berhasil menolong banyak
orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi.
Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini
(Abdurrahman Wahid, 1998: 161)
Dalam sejarah perkembangan Kerajaan
Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Pang
Timaggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam
diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru
Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan
Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.
La Sangkuru
Patau Mulajaji adalah salah seorang keturunan bangsawan yakni dari keturunan La
Tadangpare menjadi raja di negeri Peneki (Arung Peneki ke-3), yang kemudian
terpilih menjadi Arung Matowa ke-12 menggantikan Arung Matowa La Mangkace To Uddamang.
Beliau memerintah sebagai Arung Matowa sekitar tiga tahun (1607 – 1610). Dalam
menjalankan tugasnya sebagai pucuk pimpinan Pemerintahan, rakyat sangat
simpatik kepadanya, karena beliau sangat jujur, berani, cakap, bijaksana dan
memiliki ilmu yang tinggi. Ia amat teguh dalam pendiriannya dan mematuhi
perjanjian yang sudah disepakati.
La Sangkuru
Patau masih merupakan cicit La Tadangpare Puang ri Maggalatung (Arung Matowa
Wajo ke-4) dengan permaisurinya bernama We Tenrigella (WE TENRI BAGERING) putri
arung Cabalu (Bone). Dalam lontarak La Congeng, disebutkan bahwa dari
perkawinannya itu lahirlah empat orang putra dan seorang putri. Kelima anaknya
itu bernama: La Tenripakado To Nampe, La Tenrirekko To Tenrisau, La
Maddaremmeng To Mallu, We Pabbatang Damalu dan La Marasempe.
Kisah
perkawinannya dikatakan bahwa La Tenri Pakado To Nampe dikawinkan dengan Tenri
Pabbisa, putri La Ipa Gajangmalela Ranreng Talotenreng. Dari hasil
perkawinannya itu lahirlah We Tesi. Perkembangan hidup We Tesi makin mekar,
sehat dan tegar menjadi seorang gadis ayu yang cantik. Tidak mengurangi tutur
kata dan perangai kebangsawanannya, namun ia tidak pilih kasih terhadap gadis sebayanya. Hingga La Paturusi To
Sekketti Arung Peneki ke-2 menaksirnya sampai menghantar ia kepelaminan. Dari
hasil perkawinannya itu lahirlah seorang bocah laki-laki dan diberi nama La
Sangkuru Patau Mulajaji. Ibunya bernama We Pappolobongan putri dari La Obbi
Settiware Arung Matowa Wajo ke-2, dan ayahnya bernama La Maddaremmeng To Mallu
(Arung Peneki ke-1).
Sebagaimana
telah dikisahkan dalam sejarah lontarak Wajo, bahwa agama Islam masuk ke Wajo
melalui perlawanan senjata dari kerajaan Gowa. Gowa adalah daerah pertama di
masuki Islam yang rajanya bernama MANGERANGI DAENG MANRA’BIA SULTAN ALAUDDIN.
Penyerangan pasukan Gowa di lakukan sekitar satu bulan setelah kekalahan
Soppeng. Gowa dibantu oleh kerajaan limaE Ajattappareng dan kerajaan Soppeng.
Pertempuran tidak dapat dielakkan yang pada akhirnya banyak menimbulkan korban
jiwa. Pertempuran berakhir dengan kekalahan kerajaan Wajo. Dengan demikian
Arung Matowa Wajo La Sangkuru Patau Mulajaji bersama dengan rakyatnya menerima
agama Islam serta mengucapkan dua kalimat syahadat, bertepatan 15 Syafar 1019 H
(6 Mei 1610 M). La Sangkuru Patau Mulajaji juga digelar Sultan Abdurrahman.
Untuk
memperdalam pengetahuan tentang agama Islam, Arung Matowa memohon guru pada
raja Gowa. Sehingga dikirim Datok Sulaeman Khatib Sulung untuk mengajarkan
Islam pada orang-orang Wajo. Muballig ini diterima baik oleh Arung Matowa La Sangkuru
Patau Mulajaji.
Tidak lama
setelah orang Wajo menerima agama Islam. Arung Matowa La Sangkuru Patau
Mulajaji meninggal dunia dalam tahun 1610 M di Peneki dan gelarnya sesudah
meninggal Petta Matinroe ri Allepparenna. Dan beliaulah Arung Matowa yang mula-mula
dikuburkan jenazahnya. Sedangkan Arung Matowa sebelumnya dibakar dan abunya
disimpan dalam balubu kemudian ditanam. Namun beliau tiada, akan tetapi ia
telah banyak meninggalkan wasiat, nasehat dan kata sulsana kepada anak cucunya.
Antara lain wasiatnya:
mkEdai
lskuru ptau muljji mtiRoea ri alEpEn:
aj
nslaiko topRit, towrni, pkddea, tosogi nmlbo eawai siamet. ap aiytu aptujun
riaiko topRitea. aEK amn admu nw-nwmu psl ribicrn kitea naiynro paisEGEko rigau
ptujuea. naiy ptujuna tau wrniea,aiy pkow riyjuelkaiwi, eptaun riewelyGi aulu
ad, rimekekGergi ad ripdn ptiRo musu, iy mjElorE rieaw tEmsr topRitea ap aiyn
prmtn wnuwea naiy tau sogiea jukuna wnuwea naiy towrniea bukun wnuwea. naiy
ptujuna pkddea naiy erkow aEK ad rimealomu suroai, ripasiajiGn tnea iyn risuro
mnE ad, eK aerg suro esajit aiyn aisuro bliwi. naiy ptujun tauu sogiea nmlbo,
aEK amn mk muposiri naiy sPoGEko sirimu, sPoGEko loKomu.
Artinya: kata La
Sangkuru Patau Mulajaji Matinroe ri Alleperenna.
Jangan engkau
berpisah dengan alim ulama, pemberani, arif bijaksana (cendekiawan), orang kaya
supaya dijadikan teman akrab, sebab manakala ada kata-katamu tersalah, tingkah
lakumu tidak senonoh, pikiranmu yang keliru tidak sesuai dalam kitab, ialah
yang memberi petunjuk yang benar. demikian
pula orang
berani yang merupakan perisai bahkan menjadi benteng negeri pada setiap waktu,
dapat membendung bahaya yang akan mengancam. Itulah sebabnya maka dianjurkan
supaya jangan berpisah para alim ulama, sebab merupakan bahaya kebahagiaan
negeri, sedangkan orang kaya merupakan sumber kebesaran negeri, sedangkan orang
berani adalah tulang punggung negeri. Begitu juga orang cendikiawan dapat
membantu membawa berita resmi, menerima dan sekaligus dapat menjawabnya, baik dari
kalangan keluarga maupun menyangkut situasi negeri.Demikian pula dengan orang
kaya dapat membantu dalam kesulitan akibat utang dan sebagainya.
Beliau juga dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Rahman
dan satu-satunya pemimpin wajo dalam sejarah yang memiliki gelar Sultan. selain
itu, beliaulah yang menerima Islam (pemimpin raja wajo yang pertama memeluk
Islam).
Seiring berkembangnya Islam di Wajo, berbagai macam
bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena
kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka. Jadilah pada akhir
tahun 1347 H/1928 M, seorang ulama besar bernama AG H. M. As’ad , dalam usia
sekitar 21 tahun merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis,
guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo
khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama
yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang
selalu membara. Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang
adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu
beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat
penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang. Pada tahun
pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari
daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih
kurang 200 tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta
Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang
pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak
di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan
permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad,
(2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru
Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu
dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal
1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M. Setelah selesai
pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo
Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian,
pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di Mesjid
Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo. Pesantren
dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal
bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang.Sesuai dengan wasiat beliau beberapa
saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian
dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M.
Yunus Martan.
Adalah
AG. H. Daud Ismail yang disapa dengan H. Dauda dan biasa juga dengan sebutan kali Soppeng, dilahirkan pada tanggal 30
Desember 1908 M. di Cenrana Kab. Soppeng. H. Dauda mempunyai sebelas orang saudara dari pasangan H. Ismail bin Baco Poso dan Hj. Pompala binti Latalibe yang
berasal dari kampung yang sama yaitu
Cenrana. Ayahnya adalah seorang petani, guru mangaji (membaca Al-Qur’an) sekaligus seorang katte dan parewa syāra di Distrik Soppeng. Sebagai tokoh masyarakat, H. Ismail
merasa bertangungjawab terhadap pendidikan Agama anak-anak, sehingga dia
membuka pengajian Al-Qur’an di rumahnya.
Dalam sejarah
hidupnya, A.G.H. Daud Ismail menikah tiga kali, pertama dengan Hajjah
Marellung pada tahun 1932 M dan memperoleh dua orang putra yaitu Haji Ahmad Daud tapi sayang anak
pertamanya ini menjelang 50 tahun berpulang kerahmatullah, tapi semasa hidupnya
Ahmad Daud sempat menjadi dosen IKIP Ujung Pandang, kini Universitas Negeri
Makassar. Dan
A.G.H Daud Ismail menyerahkan pimpinan Pondok Pesantren YASRIB kepada anak
keduanya yang bernama Kyai Haji M. Basri Daud, Lc. Tapi sayang
H.Basri ternyata mendahului ayahnya menghadap Khalik. Setelah istri pertama meninggal dunia, A.G.H. Daud Ismail kawin lagi
dengan Hajjah Salehah, namun dari
perkawinan ini, tidak dikaruniai seorang anak. Pada tahun 1942 A.G.H. Daud
Ismail, menikah yang ketiga kalinya dengan Hajjah Faridah, dan isterinya inilah
yang mendampingi beliau
hingga akhir hayatnya dan
dikaruniai tiga orang anak yaitu
Hajjah Syamsul Huda (almh) dan Hajjah Nur Inayah menjadi Pengadilan Agama di
Watangsoppeng dan anak terakhirnya bernama Drs. H. M Rusydi Daud menjadi staf Pegawai BNI di Jakarta.
A.G.H. Daud Ismail
belajar Al-Qur’an pada orang tuanya,
yaitu H. Ismail (yang biasa dipanggil dengan katte Maila) di bawah rumahnya sendiri, dan pada seorang perempuan
yang bernama Maryam. Pada saat itu memang tampak ketekunan dan kecerdasan
A.G.H. Daud Ismail serta perhatiannya kepada ilmu pengetahuan.
Perhatian A.G.H.
Daud Ismail kepada ilmu pengetahuan didorong oleh orang tuanya sendiri. Daud
Ismail tidak bisa bekerja keras di sawah, karena fisiknya lemah sehingga tidak
mampu mengerjakan sebagaimana yang dikerjakan petani pada saat itu. Menurut
Abd. Rauf bahwa A.G.H. Daud Ismail apabila diperintahkan untuk mengambil bibit
padi (bien), beliau tidak mampu memikulnya, setiap kali dia memikul bibit padi
pasti terjatuh, sehingga orang tuanya menyuruh untuk meninggalkan pekerjaan itu, lebih baik kamu
pergi belajar mengaji. dari pada bekerja di sawah.
A.G.H. Daud Ismail
mempelajari masalah agama kepada
beberapa ulama dan guru, di antaranya sebagai berikut:
a.
Haji Muhammad
Shaleh, Imam Lompo di Cangadi Kecamatan Liliriaja
Kab. Soppeng.
b.
H. Ismail (Qāḍi Soppeng).
c.
Guru Tengnga di
Ganra.
d.
Haji Syamsuddin,
Imam Sengkang.
e.
Haji Daeng Sumange
di Kampung Ceppie Soppeng Riaja.
f.
Haji Kitta, Qāḍi Soppeng Riaja.
g.
A.G.H. Muh.
As’ad di Sengkang.
Setelah mendengar
bahwa di kota Sengkang ada seorang ulama Bugis yang bernama H. Sade kembali dari tanah Mekkah
melaksanakan kegiatan pengajian ḥalaqah
serta mendirikan madrasah yang bernama MAI
(Madrasah ʻArabiyah al-Islāmiyah), A.G.H. Daud Ismail pergi ke Sengkang untuk
menuntut ilmu pengetahuan walaupun pada awalnya hanya untuk berdiskusi, tetapi
setelah memperhatikan keilmuan yang dimiliki
oleh A.G.H. Muh. As’ad, maka dia tinggal di Sengkang untuk menuntut ilmu
pengetahuan.
A.G.H. Daud Ismail belajar langsung kepada A.G.H. Muh. As’ad selama 12
tahun yaitu dari tahun 1929-1942. Selama belajar, beliau merasakan banyak
sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci
ilmu-ilmu agama, seperti ilmu
qawāid, Ilmu uṣūl fiqh, ilmu mantiq dan lain-lainnya. Hal itu
dirasakan, karena keilmuan yang dimiliki oleh gurunya (A.G.H. Muh. As’ad) sangat luas dan mendalam, serta metode
mengajar yang diterapkannya lebih bagus dibanding dengan metode yang pernah
didapatkan sebelumnya. Menurut pengakuan A.G.H. Daud Ismail, bahwa santri-santri cepat menguasai apa yang diajarkan
oleh A.G.H. Muh. As’ad.
Di samping belajar,
A.G.H. Daud Ismail juga
dipercaya untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, karena beliau
termasuk santri yang sangat lama belajar kepada A.G.H. Muh. As’ad, bahkan dapat
dikatakan bahwa dia mewarisi seluruh ilmu yang dimiliki oleh A.G.H. Muh. As’ad.
Menurut H. M. Rafii Yunus Martan, Pengangkatan A.G.H. Daud Ismail sebagai guru,
itu karena sebelum berangkat ke Sengkang sudah pernah belajar pada beberapa
guru dan ulama, hal itu berarti bahwa beliau sudah mempunyai banyak ilmu,
kemudian pergi ke Sengkang untuk belajar.
Sejak saat itulah,
orang-orang memanggil A.G.H. Daud Ismail sebagai Gurutta (suatu panggilan
kehormatan kepada guru yang sudah diakui ilmunya) dan diangkat sebagai
pembantu utama dalam proses pengajaran kepada para santri yang datang belajar
di MAI (Madrasah Arabiyah Islamiyah) di Sengkang.
Sejak meninggal
A.G.H. Muh. As’ad pada tahun 1952 M. pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh MAI (Madrasah ʻArabiyah
Islāmiyah) meminta kepada
A.G.H. Daud Ismail datang ke Sengkang untuk melanjutkan pembinaan madrasah
tersebut, meskipun dengan resiko harus meninggalkan pegawai negerinya. Hal
tersebut diungkap oleh M. Rafii Yunus Martan, bahwa kembalinya A.G.H. Daud
Ismail ke Sengkang, karena suatu amanah yang harus dilaksanakan baik dari
gurunya maupun dari pemuka masyarakat Wajo, sehingga harus meninggalkan pegawai
negerinya di Kab. Bone. Di samping itu karena keikhlasan dan panggilan hati
nurani, sehingga beliau bersedia melanjutkan pembinaan madrasah yang
ditinggalkan oleh gurunya.
Sejak tahun 1953 sampai 1961 A.G.H. Daud Ismail
bersama dengan A.G.H. Muhammad Yunus Martan memimpin madrasah yang ditinggalkan
oleh A.G.H. Muh. As’ad. Pada kepemimpinan beliau, madrasah tersebut
dirubah menjadi Madrasah As’adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada
pendiri madrasah yang dipimpinnya. A.G.H. Daud Ismail memimpin Pondok Pesantren As’adiyah selama 8
tahun.
Pada tahun 1961,
A.G.H. Daud Ismail meninggalkan Sengkang dan kembali ke daerah kelahirannya
yaitu Watansoppeng. Ketika tiba di Watansoppeng, A.G.H. Daud Ismail melakukan
berbagai aktivitas, baik dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang dakwah.
Di bidang
pendidikan beliau membuka Madrasah Muallimin di bawah naungan Yayasan Perguruan
Islam Beowe (Yasrib), dan sekaligus sebagai Ketua Yayasan, serta memprakarsai pembentukan Darul Dakwah wal
Irsyad (DDI). Pada tahun 1993-2006
menjadi pimpinan Pondok Pesantren Yasrib Watansoppeng, yang sebelumnya dipimpin
oleh putranya yaitu K.H. Basri Daud Lc yang lebih dahulu meninggal dunia.
Sedang di bidang
dakwah, beliau memberikan pengajian kepada masyarakat di beberapa mesjid
utamanya di masjid yang ada di samping rumahnya, serta memberikan ceramah di
berbagai tempat, baik pada waktu maulid maupun pada waktu isra’ mi’raj Nabi
Muhammad saw. serta menjadi khatib jum’at. Penyampaian dakwah dilakukan tanpa
berusaha menyinggung perasaan orang lain, sehingga dakwahnya dapat diterima oleh lapisan
masyarakat.
Metode dakwah yang dilakukan oleh A.G.H. Daud Ismail
diungkapkan:
“A.G.H. Daud Ismail dai dan muballig yang sangat
akomodatif, toleran, dan komunikatif. Dakwah-dakwahnya disesuaikan dengan
situasi dan kondisi pendengarnya dan senantiasa menyejukkan hati, membujuk dan
mengajak. Sifat tegasnya terhadap suatu masalah senantiasa diungkapkan dengan
ungkapan sesuai prinsip bi al-ḥikmat wa
al-mauʻiẓat al-ḥasanah”.
A.G.H. Daud
Ismail menghadap kekhadirat Allah swt. pada hari Senin 22 Agustus 2006, sekitar pukul 22.00
wita, di Rumah Sakit Hikmah Makassar, dalam usia 99 tahun, dan dikebumikan di
Pondok Pesantren Yasrib Watansoppeng, di samping anaknya
K. H. Basri Daud Lc.
Menelisik spirit intelektual A.G.H. Daud Ismail memang
mencintai ilmu pengetahuan, terbukti
beliau pindah dari satu daerah ke daerah lain dan dari satu guru ke guru
lain, dan akhirnya menuju Sengkang
sebagai pelabuhan terakhir untuk belajar ilmu pengetahuan agama pada A.G.H.
Muh. As’ad, karena ketidakpuasan dengan
ilmu yang diperoleh pada waktu itu.
Keilmuan A.G.H. Daud Ismail diakui sendiri oleh
A.G.H. Muh. As’ad sebagaimana diungkapkan oleh A.G. Amin Ganra.
Kennai nasenngé gurutta Hajji Sāde makkedaé iyaro
gurummu Dāuda makalallaéng ladde nasaba biasa natambai paddissengenngé, narekko
ritanaiwi dē nacéddimi pappebalinna wedding mato mappakkué wedding mato
mappakkué.
Artinya:
Sesuai
dengan ucapan A.G.H. Sade, bahwa gurumu Dauda memang berbeda dengan yang lain,
karena sering menambah ilmu kita. Apabila ditanya satu persoalan, maka
jawabannya bukan hanya satu, tetapi dia mengatakan bisa juga begini dan begini.
Hal tersebut juga diungkap oleh Arifuddin Jailani
bahwa, A.G.H. Daud Ismail
pernah bercerita:
Engka nengka Gurutta Sāde makkutāna naiyaro
pakkutanaé mawātang ladde, nanakapanngi Gurutta Sade dēnagāga missenngi,
naiyakiya Gurutta Dauda bāwang missenngi.
Artinya:
Suatu ketika
Gurutta Sade bertanya, pertanyaan itu susah sekali, dan menganggap bahwa tidak
ada santrinya yang bisa mengetahuinya, tetapi Gurutta Dauda saja yang mengetahui jawabannya.
Zainuddin mengemukakan bahwa Gurutta Daud adalah
orang yang selalu membaca buku, bahkan tidak ada hari beliau tanpa diisi dengan
membaca kitab, dan apabila dia membaca kitab, Gurutta Daud berpakaian rapi (mabbaju
kūrung) dengan penuh khusyu baik pada waktu pagi siang bahkan pada waktu
malam. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa A.G.H. Daud Ismail sangat mencintai
ilmu pengetahuan, tidak kenal waktu, bukan hanya pada waktu mudanya tetapi
dilakukan sampai beliau sudah tua.
Keilmuan yang
dimiliki oleh A.G.H. Daud Ismail dimanfaatkan dengan memberikan pengajian pada
masyarakat, baik sesudah salat magrib maupun
salat subuh di Mesjid Raya Soppeng (Sekarang mesjid jami), dan dilakukan bertahun-tahun. Hal tersebut di atas diakui oleh Arifuddin
Jailani:
Iyaro Gurutta Dauda
dē naengka napāja mappangāji mangaribitōgi subutōgi ri masigi engkaé ri seddé
bolāna, nenniya napégaui mattautaungeng.
Artinya:
A.G.H. Daud Ismail tidak pernah berhenti memberi pengajian
baik pada waktu magrib maupun pada waktu subuh di Mesjid yang ada di samping
rumahnya. Itu dilaksanakan bertahun-tahun.
A.G.H. Daud Ismail
tidak kenal lelah menyebarkan ilmu pengetahuan walaupun dalam keadaan sakit.
Hal tersebut dibuktikan ketika Mahasantri Maʻhad Āli ditempatkan di Pondok
Pesantren Yasrib selama 4 tahun, A.G.H. Daud Ismail lebih banyak mengajar sambil berbaring
dibanding dengan duduk apalagi berdiri. Mahasantri
Maʻhad al-Dirāsat al-Islāmiyah al-ʻUlyā hanya belajar di dekat tempat tidurnya, karena kesehatannya tidak
memungkinkan untuk duduk apalagi berdiri, tetapi beliau sangat bersemangat
untuk memberikan ilmunya.
A.G.H. Daud Ismail, adalah sosok
ulama yang tidak ketinggalan informasi, karena gurutta selalu mengikuti
perkembangan berita, baik nasional maupun tingkat internasional, hal tersebut
diungkap oleh Arifuddin.
Kecintaan A.G.H.
Daud Ismail terhadap ilmu pengetahuan terbukti dengan munculnya satu tafsir,
tidak pernah muncul sebelumnya di daerah Bugis yaitu tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz.
Sebagai seorang
ulama yang disegani, A.G.H. Daud Ismail mengabdikan diri selama hidupnya untuk
kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan agama, sehingga waktunya diisi
dengan berbagai macam aktifitas, baik pada waktu tinggal di kota Sengkang
maupun ketika kembali ke kampung halamannya, yaitu Watansoppeng.
·
Adapun aktifitas
beliau adalah:
1. Tahun 1942
mengajar pada Madrasah Arabiyah Islāmiyah di Sengkang.
2. Tahun 1943 diangkat menjadi Imam Lompo di Masjid Raya
Lalabata Soppeng.
3. Tahun 1944 diangkat sebagai guru privat di keluarga Datu
Pattojo yaitu Andi Sumange Rukka untuk mengajarkan Pengetahuan Agama Islam di
keluarga bangsawan.
4. Tahun 1945 diangkat menjadi qāḍi (penghulu syara) wilayah Swapraja Soppeng.
5. Tanggal 16 Mei 1951 diangkat sebagai penghulu syarat di Kabupaten Bone, dengan status pegawai
negeri pada Kantor Urusan Agama Kabupaten Bone.
6. Tahun 1953-1961 diangkat menjadi Pimpinan MAI Wajo yang
berubah menjadi Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang.
7. Tahun 1957-1960 Penasehat Panglima Komando Daerah Militer
Sulawesi.
8. Tahun 1961 membuka Madrasah Muallimin di bawah naungan
Yayasan Islam Beowe di Seoppeng, sekaligus sebagai Ketua Yayasan.
9. Tahun 1966-2006 sebagai qāḍi kedua kalinya sampai berpulang ke Rahmatullah.
10.
Tahun 1993-2005
sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Yasrib
Watansoppeng, setelah sebelumnya dipimpin oleh puteranya yaitu K.H. Basri Daud
Lc. yang terlebih dahulu meninggal dunia.
·
Adapun karya A.G.H.
Daud Ismail adalah:
a.
Pengetahuan Dasar Agama Islam, sebanyak 3 jilid.
b.
Al-Ta’rīf bi al-Ālim al-ʻAllāmah al-Syaikh al Ḥāj Muḥammad
Asʻad al-Būgīsi.
c.
Kumpulan
doa dalam kehidupan sehari-hari.
d.
Kumpulan khutbah
Jum’at (Bahasa Bugis).
e.
Kumpulan doa
sehari-hari.
Sebagai seorang ulama yang sangat peduli terhadap
kehidupan umat Islam, utamanya menyangkut masalah kehidupan keagamaan. A.G.H. Daud Ismail tentu banyak mengeluarkan
fatwa yang bisa dijadikan pedoman oleh
masyarakat apalagi kalau ada masyarakat yang datang ke rumahnya untuk
menanyakan masalah keagamaan, namun ada tiga fatwa yang dianggap sangat
penting, sehingga mengundang beberapa pihak untuk mendengarkan
fatwa tersebut. Fatwa tersebut dikenal dengan 3 pesan moral yang harus
diketahui masyarakat Islam. Fatwa
tersebut adalah:
a.
Dasar Bilangan
Rakaat Ṣalat Tarwih
Dasar bilangan salat
tarwih yang dijadikan sebagai rujukan oleh sebagian ulama, adalah hadis
ʻAisyah yang artinya.
Rasulullah saw. tidak menambah (rakāat) baik dalam bulan Ramaḍan maupun bukan bulan Ramaḍan lebih
sebelas rakaat.
Menurut A.G.H. Daud Ismail, hadis di atas bukanlah dasar
bilangan rakaat dalam shalat tarwiḥ,
tetapi merupakan dasar bilangan ṣalat
lail (tahajjud), karena di
dalamnya terkandung ungkapan bukan hanya pada bulan Ramaḍan tetapi diluar bulan Ramaḍan,
sementara ṣalat tarwih hanya
dikerjakan pada bulan Ramaḍan.
Dasar bilangan salat tarwiḥ
berlandaskan hadis Bukhāri dan Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw.
pada sebagian malam yaitu malam 23, 25, dan 26 melaksanakan salat malam 8
rakāat, dan banyak sahabat yang mengikutinya, lalu Nabi Muhammad saw. kembali
ke rumahnya dan menyempurnakan menjadi
20 rakaat.
b. Bacaan Basmalah
Pada Pertengahan Ṣūrah
Pada setiap pelaksanaan Musābaqah
Tilāwah Al-Qur’ān, setiap qāri
dan qāriah membaca Al-Qur’an, diawali
dengan taʻāwuż dilanjutkan dengan bacaan basmalah,
sementara ayat yang dibaca terdapat pada pertengahan sūrah, bukan awal sūrah.
Menurut A.G.H. Daud Ismail bacaan basmalah
pada pertengahan sūrah tidak tepat,
karena bukan pada permulaan sūrah.
Bacaan yang tepat apabila membaca basmalah pada awal sūrah
bukan pada pertengahan sūrah.
c.
Tidak Pakai Dasi ketika
Membaca Al-Qur’an
Menurut pendapat A.G.H. Daud Ismail, bahwa pakaian dasi
pada qāri dan qāriah ketika tampil membaca Al-Qur’an tidak layak, karena pakaian
dasi adalah pakaian resmi bagi kaum
Yahudi dan Nasrani pada upacara-upacara resmi, sedangkan aktivitas membaca
Al-Qur’an adalah termasuk Ibadah maḥdah
bagi umat Islam. Oleh karena itu, dalam
setiap membaca Al-Qur’an sebaiknya tidak mencerminkan pakaian non muslim.
Perlu
kita pahami bahwa banyak dari sejarah As’adiyah yang menjadi tanda tanya bagi banyak
orang, seperti misalnya kurangnya informasi, literatur dan media yang dapat membuat
kita tertarik untuk membahas sejarah. Seperti tokoh gurutta’ yang satu ini, yakni
KH. Abdul Rasyid
Amin. Menurut sumber yang kami dapatkan, bahwasanya
KH. Abdul Rasyid Amin lahir di Lerangga, Pinrang Sawitto pada tahun 1907. Istrinya
bernama Hj. Musarraafa dan memiliki dua anak, anak yang pertama sulfa dan anak yang
kedua Nasruddin. Ibunya bernama Hj. Jara. Nama Amin yang melekat pada nama beliau
merupakan nama neneknya.
Anre
Gurutta sekolah SD (MI) di Salemo, akan tetapi belum tamat di Salemo, beliau dipindahkan
ke Sengkang Ibtidaiyah, karena adanya salah seorang dari gurunya yang mengajar di
SD Salemo memberitahukan kepada kedua orang tuanya bahwa beliau selalu bertanya
kepada gurunya di Sekolah dan mungkin gurunya tidak bisa lagi memberikan jawaban
sehingga harus pindah di Sengkang, kemudian beliau melanjutkan studinya di MTs.
Anre
Gurutta bersama dengan sahabatnya H. Muing, H. Katu, H. Hamsah Badawi dan H. Hamsah
Manguluang pernah belajar kepada gurutta KH. Muh. As’ad, KH. Yunus Maratang, dan
gurutta KH. Daud Ismail. Selama beliau belajar, selalu dekat dengan guru-gurutta
sehingga de namabela pole barakka’na anre
gurutta’. Beliau selalu mendapat nilai tinggi dan rata-rata nilainya 30 dan
nilai standar pada saat itu adalah 30, dan nilai-nilai gurutta selalu mencapai nilai
standar yang ditentukan.
Beliau
pernah ke Kairo untuk bekerja di pabrik mentega, pada saat itu waktu libur sehingga
beliau memanfaatkan waktu liburnya untuk bekerja dan hasil dari jerih payahnya beliau
tabung untuk membeli kitab. Pergaulan AG. KH. Abdul Rasyid Amin tidak memandang
sesiapa, dan tidak membeda-bedakan. Beliau tidak memilih-milih dalam menentukan
kaya tidaknya sahabatnya.
Anre
Gurutta KH. Abdul Rasyid Amin pernah menjadi kepala sekola di MTs. Pada tahun 1964,
dan mengajarkan balagah, mantiq, ilmu arudi dll. Ada juga gurutta yang mengatakan
bahwa KH. Abdul Rasyid Amin dalam mata pelajaran degaga nasampeang. AG. KH. Abdul Rasyid Amin pernah ke Mekkah dan di
tengah perjalanannya tiba-tiba ada seseorang yang memberikan sesuatu (seperti domino)
dan isinya berupa paddoangeng, Anre Gurutta
tidak mengetahui siapa yang memberikan sesuatu tersebut.
AG.
KH. Abdul Rasyid Amin wafat pada tahun 1969.
Selain
itu, adalah Gurutta
KH. Abdullah Maratang, Lc. juga memiliki peran penting dalam
pembangunan Islam di Kabupaten Wajo, khususnya di lingkup As’adiyah. Akan
tetapi, sangat disayangkan dari beberapa sumber yang ditemui kurang banyak hal
yang diketahui dari beliau, terbukti dari sedikitnya referensi dan penuturan
yang menerangkan tentang biografi beliau. Berikut adalah riwayat hidup singkat
Gurutta’ KH. Abdullah Maratang, LC.
Gurutta KH. Abdullah Maratang, LC
yang biasa disebut Gurutta H. Dollah adalah seorang Putra Bugis Belawa
Ayahnya adalah H. Maratang dan Ibunya bernama Hj. Jamilah, pada saat
beliau kelas 1 dan 2 ibtidaiyah beliau belajar dengan orang tuanya, dan ketika
kelas 3 Ibtidaiyah beliau berangkat ke Mekah menghafal Al-Qur'an 30 juz sampai
sekolahnya selesai. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya
(kuliah) di Madinah dan menyelesaikan perkuliahannya pada tahun 1970.
Setelah beliau menyelesaikan pendidikannya di Madinah, beliau kembali ke
kampung halamannya dan memulai pengabdiannya di As'adiyah.
Di as'adiyah beliau merangkap sekaligus sebagai Syaikhu Ma'had pada Tahun
1970 -1986, dan menjadi Dekan Ushuluddin, begitu juga beliau pernah menjadi
Kepala Madrsah Aliyah As'adiyah Putra, serta pernah menjadi Ketua MDI WAJO.
Selain itu beliau adalah ahli hadits, pada Tahun 1973 beliau menikah
dengan sekampungnya sendiri yang bernama Hj. Munibah, dan beliau dikaruniai 4
anak.
v Anak pertama bernama Hadijah
v Anak kedua bernama Ilham
v Anak ketiga bernama Haderawi
v Anak keempat bernama Hj.
Mawaddah
Beliau Wafat pada Tahun 1986 di Sengkang Dekat Mesjid Jami’ dan
dikebumikan di perkuburan Bulu Bellang Sengkang Kabupaten Wajo.
Pondok
pesantren yang semula didirikan oleh AG. H. Muh. As’ad, setelah kepergian
beliau digantikan dan dipimpin oleh murid senior beliau, yakni AG H. M. Yunus
Martan. Setelahnya digantikan oleh AG. KH. Abdul Malik Muhammad. Beliau (AG. KH.
Abdul Malik Muhammad) lahir di timoreng
belawa tahun 1922, ayahnya bernama H. Muhammad bin Husaeni dan ibunya
bernama Hj. Buhana. A.G. KH. Abdul Malik Muhammad merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara setelah
kakak beliau Hj. Su’ma dan Hj. Lenna.
A.G. KH. Abdul Malik
Muhammad mengecap pendidikan di sekolah
muhammadiyah belawa, dilanjutkan di al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah
(MAI) yang didirikan oleh AG. H. Muh. As’ad di Sengkang, Kabupaten Wajo. MAI
wajo yang saat sekarang ini dikenal dengan Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang.
Selanjutnya, AG. KH. Abdul Malik Muhammad juga pernah mengecap pendidikan di
madrasah darul falah makka al-mukarramah. Madrasah ini didirikan oleh seorang
berkebangsaan India di Makkah Al-Mukarramah yang notabene lebih banyak
memperlajari ilmu umum.
A.G.
KH. Abdul Malik Muhammad
mempunyai 2 istri yaitu istri
pertamanya bernama Hj. Subaedah Martan dikaruniai 5 orang anak yaitu alm. H.
Abdul Muis, Drs. H. Husain, Hj. Maryam, Drs. Syarafuddin dan Drs. H. Muhammad
Zuhdi. Istri kedaunya bernama hj suarsih pasinringi dan dikaruniai 6 anak yaitu
HJ. Miswar, HJ. Nurhayati Malik, Drs. Alauddin, HJ. Nur Amal, H. Anwar Sadat,
HJ. Aridha Malik dan Afiyah.
A.G. KH. Abdul Malik
Muhammad memiliki karya yakni buku
panduan pakkamisi’ wanita as’adiyah.
AG. KH. Abdul Malik
Muhammad merupakan mantan Ketua Umum PB As’adiyah sebelum masa transisi Prof.
Rahman Musa yang sekaligus juga menjabat sebagai Ketua STAI As’adiyah Sengkang.[2]
Menurut beberapa penuturan
dari masyarakat sekitar tempat pemakaman AG. KH. Abdul Malik Muhammad, beliau
ini memiliki beberapa karomah, diantaranya yaitu :
1)
Gurutta mampu mengobati
penyakit mistik (guna-guna, red)
2)
Mampu mengobati orang yang
kesurupan meskipun hanya dengan lewat saja/
3)
Sebagian masyarakat ada yang
pernah melihat kuburan Gurutta’ bercahaya.
Setelah jabatan Ketua STAI
As’adiyah yang dipegang oleh AG. KH. Abdul Malik Muhammad berakhir. Maka Ketua
STAI As’adiyah dilanjutkan oleh Prof. H. Abdul Rahman Musa. Beliau
(Prof. H. Abdul Rahman Musa) pernah mengecap pendidikan di IAIN Jogja. Beliau juga
pernah menjadi dosen di STAI As’adiyah dan merupakan wakil ketua dan ketua STAI
tahun 2000-2003 sekaligus Pengurus Besar As’adiyah. Prof. H. Abdul Rahman musa
adalah orang yang dikenal bijaksana dan arif.
Sekian
Wallahu ‘alam bisshowab.